Senyum Abadi dibalik Getaran yang Samar

Aldila
4 min readSep 25, 2020

Selamat Hari Bahasa Isyarat Internasional 2020

Photo by Kira auf der Heide on Unsplash

Aku sangat bersyukur. Siang itu diantara debu-debu jalanan, semesta memberikan kesempatan kembali untuk menghabiskan waktu dengan sang empu guru kehidupan. Entah berapa manusia yang semesta punya, aku rasa mereka bisa mengajariku apapun. Ojek online lagi hari itu. Bertempat saat aku baru lulus SMA, ingin mengenang kota kelahiran dengan jalan-jalan singkat ke tempat kopi di tengah Bintaro bercengkrama lihai sebelum pergi meninggalkannya untuk merantau.

Menjelang matahari tepat di atas ubun-ubun dan membakar kerongkongan, kegiatan menungguku akhirnya diberi kepastian — yang sangat pasti. Pesan masuk dari aplikasi hijau, memberikan kucuran keringat yang awalnya menghasilkan kerut bingung lalu sukses mengukir senyum yang awalnya mengerucut di neraka bocor ini. Untaian pesan singkat dengan emoticon senyum yang disampaikan mengimplikasikan kondisinya yang tidak bisa mendengar. Awal menumpuknya perasaan campur aduk. Aku takut aku tidak bisa kooperatif, dan aku semangat mengambil kesempatan baru untukku mencoba satu pengetahuan kecil bahasa isyaratku dari hasil menonton film A Quiet Place serta pertunjukkan gladi pembukaan Asian Paragames yang sukses menaikkan rasa penasaranku. Aku bersiap-siap berdiri, menunggu satu ojek online sambil berlatih sedikit ‘terima kasih’ ku dalam bentuk bahasa isyarat.

Photo by Afif Kusuma on Unsplash

Seperti yang semesta duga, ia datang dengan senyum lebar melebihi senyum-senyum manusia yang kujumpai hari itu. Rasa-rasanya, satu jengkal lagi dibalik kaca helm itu bisa saja menyembuhkan kebencian di dunia ini. Kami saling melambai-lambai dan berkomunikasi lewat senyuman yang rasanya sangat-sangat cukup di hari penuh pikuk ini. Bahagiaku terisi lagi. Sungguh. Tanpa melepaskan senyum langka, kukenakan helm hijau di kepalaku yang sudah empat puluh derajat, dan bersiap menempuh tiga kilo meter yang tak ku kira dan juga ku kira, akan memberi pelajaran-pelajaran baru dalam hidupku yang baru berangkat singkat ini.

Di punggungnya — tepat di jaket hijau khas ojek online, terdapat emblem komunitas tunawicara yang baru menyegarkan pengetahuanku selama ini. Aku mengangguk kecil dibalik helmku dan berniat mencarinya di internet saat sampai di tempat kopi nanti. Selama perjalanan — yang selalu ku artikan dengan perjalanan kehidupan, teknik komunikasi yang kami sepakati adalah melalui tepuk bahu serta menjorokkan tanganku kedepan mengimplikasikan arah. Tidak sukar. Aku menikmati setiap jengkal perjalanan. Aku bisa menangkap dengan jelas pertanyaan soal jalanan dan beberapa obrolan simpel singkat jarang tak meherankan mewarnai perjalananku.

Sejak awal, pondasi pikiranku selalu ingin berprespektif besar. Melalui kesempatan ini pun aku bertekad untuk meluangkan cerna pikiran, untuk lebih menjadi manusia, yang manusia, yang sangat manusia. Karena tak lama setelah itupun dalam laju hidupku, aku akan berkecimpung dalam kolam jiwa penuh kontras. Setiap pertemuan adalah pelajaran. Dan aku harus menghindari penyesalan untuk cukup bodoh dalam melewati dan mengetahui nilai dari setiap kejadian dalam hidup.

Banyak kelok-kelok melawan angin serasa sudah dibelakang punggung saja. Satu sampai dua belokan lagi, aku harus mempersiapkan hasil dari latihan singkatku mengenai ucapan ‘terima kasih’ dalam bahasa isyarat yang kupelajari minggu-minggu lalu. Saat rem berhasil memberhentikan laju, kumantapkan diri sambil menggenggam uang ongkos turun dari motor. Kaca helmnya di angkat, dan seperti yang kuterka — senyumnya masih melekat persis. Terik dan suara bising jalanan Jakarta tidak dapat memudarkannya satu inci pun — dan aku pun yakin segala masalah di dunia tidak bisa melawan kekuatan itu. Akupun sudah mengkerut sedemikian kali saat mendengar klakson ego tinggi di jalanan, tapi seakan hanya sukacita yang ada dalam dirinya yang bahkan seharusnya lebih letih dengan menyetir di hiruk pikuk Jakarta. Aku ikut tersenyum — tidak bisa memungkiri bahwa senyum manusia itu sangatlah anugrah menular yang harus dijaga dalam semesta. Kusodorkan ongkos, Ia menerima dengan gestur yang sangat menyenangkan siapapun yang menerimanya. Aku tidak ingin membesar-besarkan, tetapi memang begitu adanya. Seakan menamparku untuk jangan condong ke arah yang merugi, yang tak ada senyum di dalamnya. Dunia itu sangat indah. Senyum kembali muncul, dan menyempatkan menyapu insan tak percaya diri ini dalam mengeluarkan bahasa isyarat paling simpel yang pernah dipelajari itu. Kutempelkan ujung jariku di dagu, dan mengekstensi tanganku menujunya (Terima kasih). Takut salah, aku tertawa saja. Tapi gesturnya sangat mengapresiasi — sebongkah apresiasi paling mendalam yang pernah kudapat selama berinteraksi dengan manusia. Akhirnya terima kasihku dapat diterima, dan aku meninggalkan pinggir jalanan itu memasuki gedung putih dibaluti belasan motor berparkir sambil berusaha menyimpan kesempatan itu dalam kotak memori dan menguncinya dalam-dalam. Satu lagi berhasil sudah, sosok pengajar hidup dunia berhasil menyampaikan maknanya dengan cara yang berbeda. Melalui tiga puluh menit membelah jalanan Jakarta, hidupku sekarang jauh kulindungi dan selimuti dengan rasa syukur.

Tanpa kata, masih bisa mengajariku beribu arti kehidupan.

--

--

Aldila

Perkara-perkara yang timbul dan ditimbulkan. Kritiklah, semoga suka. Instagram: @4ldila