Sembilan Belas Hari setelah Sembilan Belas

Aldila
7 min readDec 19, 2020

6954 Hari Setelah menjadi manusia

Jakarta, 2007

Sebenarnya, 6954 hari terasa berjalan begitu cepat. Dikurangi ingatan piyik saat bayi pun, masih terasa cepat. Entah sejak menulis perayaan kehidupanku yang ke 6570 hari — tahun lalu pun, terasa seperti kedipan. Pesatnya berbagai baik dan buruk semakin meyakinkanku saja, bahwa masih panjang alur keringatku nanti — jika aku cukup beruntung.

Sekarang, masih saja sukar otakku untuk menjawab berbagai pertanyaan hidup yang kulontarkan sendiri. Itu artinya mungkin aku belum sepenuhnya berhasil menjadi manusia. Tetapi perjalanan yang kubilang pesat dalam artian waktu tadi seakan pepat dan cepat jika saat kucerna sebagai sebuah hasil. Tetapi sebenarnya, lebih dari butiran air di sungai-pun ku diajarkan dalam prosesnya. Tidak perlu jauh-jauh — aku suka mengabadikannya dalam platform menulis ini, atau dalam bentuk visual yang kupamerkan saat ada twibbon saja, atau kuselipkan secara personal di sela obrolan kopi dan journal manualku.

Kurasa tidak akan banyak yang mau kukatakan di hari ke 6954 ini, tetapi banyak yang mau kusyukuri. Meskipun jantung dan lambungku seakan diajak balap karung karena pola baruku mengopi atas dukungan dalam mengejar tenggat waktu segala perihal, aku bersyukur bahwa di segala akhir — pilihanku hanya dua tetapi fleksibel: tersenyum karna keberhasilan, atau menangis sambil membangun pondasi baru untuk bisa di-senyumi. Tapi ku akui di antara segala ego diri, aku seakan telah berjanji untuk fokus pada berempati. Aku tidak lagi manusia yang punya pertanggungjawaban kecil sejak merantau, walaupun itu hanya ditunjukkan melalui aku yang tidak pernah laundry — alias selalu cuci sendiri. Tetapi banyak sekali pertanggungjawaban baru muncul, yang datang seakan air terjun mengikis segala jam tidurku. Tetapi seperti yang kubilang pada tulisan terdahulu, aku senang bisa berguna dalam obligasi impian. Setidaknya aku bisa bermanfaat bagi orang sekitarku. Itu poin kebahagiaanku pada umur delapan belas kemarin.

Terlalu banyak ‘tetapi’, aku sadar bertambah umur mungkin tidak akan merubah banyak hal — tetapi (kan, tetapi lagi) kurasa hari baru ini akan memberikan aku banyak kesempatan untuk diri yang telah dirubah oleh pelajaran-singkat, untuk senantiasa terus mau dan rela mengeksplorasi dunia demi pengembangan diri dan manusia sekitarku. Seperti hari-hari pada biasanya.

Semakin terdengar seperti essay beasiswa. oh in which by the way, I failed :)

Sebenarnya arti dari tulisan pindah umur setahun sekali ini adalah media bagiku untuk senantiasa bisa memantau progres diri secara berkala, sekaligus media bagimu, yang sedang membaca ini untuk bisa mengenalku jauh lebih dalam — bahwa aku cukup alay untuk memintamu mengenalku melalui tulisan-tulisan singkat yang kutulis disini. Tapi memang begini adanya. Corona memaksaku untuk tidak bertemu manusia — dimana aku sangat nanti-nanti tiap harinya, dimana kusimpulkan di setiap coretan kisahku bahwa ragam manusia telah mengajariku banyak pelajaran hidup. Belajar tentang manusia, tetapi yang dijumpai adalah layar membutakan — kan letih juga. Maka jujur, aku agak sukar beradaptasi dengan layar kotak ini dimana tawa orang-orang hanya terdengar sekencang volume full saja. Aku butuh cipratan jigong mereka di udara seutuhnya, merasakan kehadiran manusia-manusia pencipta kenangan pada masa-masaku hidup. Tetapi segalanya lagi-lagi, memang patut disyukuri. Mungkin nanti akan kutulis apa baiknya Corona dalam kehidupanku. Mungkin nanti, saat memang ada. Karena dia telah membunuh banyak manusia, kurasa butuh waktu cukup lama untukku bisa memandangnya sebagai sebuah kasih.

Banyak perkara yang sudah selesai, banyak yang masih dalam proses, banyak juga yang baru mulai. Kurasa ragamnya perkara inilah yang senantiasa membangunku. Tetapi itu semua lagi-lagi memang sukar dicerna oleh otak beruminasi ku, maka kepalaku yang batu ini juga butuh dukungan ekstra yang sewajarnya — teman, keluarga, kolega, mentega, manusia-manusia yang tak bersengaja bertukar cerita, lalu Bruno-Bambang-Bae-B-Roberto, dan yang baru brojol diantaranya Biscoff-Shilo-Tonto-dan Klein (kucing-kucingku yang beberapa sedang berbaring di rerumputan surga), dan lain sebagainya yang telah berperan penting di tahunku yang ke delapan belas kemarin. Walaupun aku memang tidak bisa menaruh percaya semudah yang kulakukan terdahulu — saat dimana tak kusadari ada konsekuensi dari segala percaya dimana aku takut setakut-takutnya untuk mengecewakan mereka, aku sangat berterimakasih. Ekspektasi tinggi manusia ataupun dari yang bukan manusia — ego, insekuritas, pikiran intrusif, berhasil satu tahun lagi ku lalui dengan dukungan segala sekitarku, dan utamanya, Dia di tempat paling tertinggi.

Kurasa ini tahunku dimana pengurangan ego tidak hanya menjadi proses. Ego tinggi memang harus terkubur — karena akibatnya aku terlalu banyak berasumsi diri dan seakan mengikis empati. Dalam kondisi baru seperti ini, aku harus bisa bersyukur hanya harus beradaptasi dengan layar kotak dan mata lelah, tetapi manusia lain — termasuk yang telah mengajariku pelajaran hidup seperti tukang ojek, tukang sate langganan, orang yang kutemui tanpa perkara, bahkan tetanggaku sendiri, harus beradaptasi lebih dengan berbagai perubahan oleh pandemi, termasuk dalam mencoba untuk bisa hidup tenang menghentikan raungan dalam perut mereka sehari sekali. Jika memikirkan hal itu aku selalu merasa tidak berguna, apalagi saat aku beli sepatu baru dari band favoritku bulan-bulan lalu yang kurasa tidak aku perlukan. Jika aku fokus pada pengembangan diri — tidak pada pengembangan materi, mungkin materi itu akan datang dengan sendirinya membukakan pintu bagiku untuk bisa menjadi manusia bermanfaat bagi mereka. Aku menyesal beli sepatu, aku menyesal menjadi orang yang ber-ego tinggi.

Segenap penyesalan itu tidak akan ku simpan. Tidak akan ada yang bisa merubah penyesalan itu selain dari gerak nyataku untuk jangan lengah mengejar yang tak perlu. Orang bilang sembilan belas tahun memang belum terlalu dewasa, tapi persetan — aku tidak akan menunggu dewasa terlebih dahulu untuk bisa menjadi jiwa yang bertanggungjawab akan pilihanku. Aku sudah terlalu tidak nyaman melihat diri menanjak tinggi, disaat yang lain tertimpa batu. Tidak akan ada yang bisa merubahnya, jika aku saja bahkan tidak bisa merelakan untuk tidak beli sepatu diantara sepatu dan sendalku yang masih berfungsi dengan baik, di kontrakan maupun dirumah. Saatnya untuk mulai membagi peduli. Self-love mu tidak selalu bisa digapai dalam bentuk materi.

Tapi ngomong-ngomong, aku masih belajar untuk tidak beralih dari prinsip itu, jujur saja. Pada umur 18 yang mulai tepat tahun lalu hingga sekarang ini, aku akui banyak sekali hal yang tak kusangka-sangka — banyak diantaranya bahkan seperti mematikan jiwa. Aku mendapatkan banyak realitas kehidupan terutama dari bagaimana sifat manusia sebenarnya yang memang tinggi egonya tidak bisa dipatahkan untuk berempati yang memang harus dibiarkan saja begitu. Realitas kehidupan yang pahit itu bisa berupa apa saja. Dari bagaimana kutemukan pedasnya mulut manusia yang tidak mau berhenti merendahkan yang lain untuk meninggikan diri, berfikir homogen di dunia yang heterogen, berpandai-pandai alasan dibalik sebuah kejujuran, dan lain-lain yang pada akhirnya kupaksa pahami saja, bahwa tidak semua orang mempunyai sisi baik yang menjadi mayoritas diri. Mungkin memang baru satu per-empat pahit kehidupan aku temui, tetapi aku sadar bahwa ketika orang-orang bilang hidup itu memang pahit, kenapa mereka tak berubah? Aku paham mengenai segala pikiran aneh yang memakan jiwa saat malam, yang telah merenggut banyak dari populasi manusia — tapi itulah intinya, kalau manusia sudah paham, kenapa tidak berubah setidaknya menjadi orang baik untuk orang lain?

Di hari yang ke 6954 inipun aku juga mendapatkan hal lain yang tak kusangka akan aku temui saat aku berumur lebih muda dahulu. Bahwa bagaimana hidup ini sebuah perlombaan adalah konsep paling bobrok yang pernah kutelan sebelumnya. Aku sangat bersyukur sejak dulu aku selalu menjadi pendengar, yang tidak pernah berkata “Ih, aku juga!” saat manusia lain sangat membutuhkan telingaku. Aku paham bahwa manusia sulit sekali menyingkapkan mulutnya, maka dari itu orang-orang hebat yang kutemui jarang sekali punya ego tinggi, mereka selalu bisa menjadi pendengar yang baik — maka akan kuikuti jalan tersebut dibanding menjadi manusia dengan dua mulut dan satu telinga. Mungkin manusia harus mulai untuk bisa mendengar lebih, untuk manusia lain tidak harus sadar akan hal buruk soal manusia ini pada usia 19 tahun sepertiku.

Mungkin tahunku kemarin tidak seburuk dan sebaik tahun-tahun yang lain, atau tidak seburuk tahunmu. Tapi manusia punya porsi masing-masing yang tidak bisa diukur dalam satu standar dimana manusia bisa mengukur dan membandingkan masing-masing perkara hidupnya dengan yang lain — itu sangatlah bukan seperti manusia. Di umurku yang lalu, aku kalah dalam banyak hal, gagal dalam banyak perkara, menyesal dalam banyak tindakan dan ucapan, berfikir apa yang seorang manusia tidak seharusnya pikirkan, dan masih banyak hal yang merenggutku — pada keberlangsungan batin bahkan fisikku. Mungkin tidak banyak yang bisa kusebutkan dari kehidupan sok tahu ini tetapi aku tidak mau menjadikan hal tersebut sebagai alasan bagiku untuk menjadi orang yang takut — takut mencoba, takut gagal, takut menangis, hingga takut hidup. Karena takut, mencoba, gagal, menangis, dan hidup adalah hal yang sangat, sangat manusiawi. Maka aku selalu memohon hal baik pada Tuhan, untuk semua orang, dan kuharap itu bisa mengubah bagaimana manusia berakal seharusnya menjalani hidup.

Melalui tulisan pendek ini mungkin akan mempengaruhi sedikit banyak dari cara pandangku memandang diri dan dunia, serta juga bagaimana cara pandangmu terhadapku. Aku harap harapanku dalam tulisan ini tidak tersimpan begitu saja seperti lemari kontrakanku yang mungkin sekarang sudah lembab tertutup rapi sejak sembilan bulan lalu. Mungkin segelintir kata ini tidak cukup untuk bisa menyampaikan sepenuhnya apa yang aku ingin sampaikan. Maka akan kusimpan dan kukeluarkan pada jurnal verbalku pada lain waktu saat berbicang di ruang-ruang kita berlokasi. Di ulang tahunku yang ke sembilan belas ini, daripada meminta manusia-manusia untuk berubah demi kehidupan yang lebih baik, aku akan berusaha merubah diri menjadi manusia yang lebih manusia lagi. Terima kasih telah membaca, manusia. Semoga kita semua sehat, bahagia selalu, dan segera bertemu!

Panjang umur hal-hal baik!

Dari Aldila, yang baru saja sembilan belas hari merasakan bagaimana rasanya menjadi manusia sembilan belas tahun.

--

--

Aldila

Perkara-perkara yang timbul dan ditimbulkan. Kritiklah, semoga suka. Instagram: @4ldila